Jilbab?
“Huh! Kuno, norak dan kampungan!”
Itu dulu yang ada di pikiran saya ketika melihat orang pakai jilbab. Jilbab itu identik dengan anak pesantren. Anak pesantren itu kan terkungkung di asrama, dan jilbab adalah salah satu bentuk pengungkungan itu. Waktu SMP dan SMU, kami sekeluarga pernah tinggal dekat pesantren. Dan saya nggak pernah mau mencoba-coba dekat dengan santriwati pesantren tersebut, karena menurut saya mereka itu nggak gaul, ketinggalan jaman dan nggak ada modis. Pokoknya di mata saya, cewek pakai jilbab tuh nggak ada menarik-menariknya sama sekali!
Semua Perempuan Aceh Berjilbab
Saya kenal dengan kain yang di lipat menjadi segitiga dan disematkan ke kepla dengan dengan jarum pentul itu ketika saya mulai masuk SMP. Di Aceh waktu itu, mulai diterapkan peraturan wajib jilbab bagi siswi SMP dan SMU. Di daerah saya, Aceh Selatan, nggak ada siswi SMP dan SMU yang nggak pake jilbab. Semua berbaur dalam balutan jilbab putih yang bertengger di kepala.
Yup, jilbab putih. Hanya itu yang saya punya. Satu-satunya. Dan karena satu-satunya dan sedikit nggak suka dengan segala hal yang berbau jilbab, maka jangan harap saya akan memakainya di luar jam pelajaran sekolah. Kebanyakan siswi lain juga melakukan hal seperti saya : jilbab hanya untuk peraturan sekolah saja!
Di sekolah saya termasuk orang yang cukup selektif memilih teman. Saya lebih suka gabung dengan geng-geng cewek gaul dan populer –populer di sini dalam artian dia cukup pinter- di sekolah ketimbang dengan cewek yang nggak ada gaungnya sama sekali. Bersama mereka, saya betul-betul menikmati masa remaja saya. Kami membeli majalah-majalah remaja yang ngetren.
Masuk SMA, jilbab saya nambah lagi. Bukan karena saya sudah mulai suka jilbab. Bukan. Tapi karena jilbab putih saya waktu itu sudah bulukan dan warnanya pun udah nggak jelas lagi. Putih enggak, coklat juga enggak.
Di SMA, saya kenal dan dekat dengan teman baru, Neni namanya. Orang Medan. Meskipun anaknya agak pendiam dan nggak heboh seperti saya, tapi akhirnya saya bisa connect dan akrab juga dengan dia. Cuma satu yang nggak saya suka sama dia, yaitu dia jarang sekali buka jilbab. Ingat, jarang! Bukan nggak pernah! Biasanya pas ada kegiatan ekstrakurikuler di luar jam sekolah, sebagian besar teman-teman termasuk saya, jarang ada yang kembali ke sekolah pakai jilbab. Tapi teman saya itu, nggak pernah nggak pakai jilbab. Mana jilbabnya makin lama lama makin lebar lagi. Saya menyayangkan sekali. Berjilbab itu kan kuper, pikir saya.
Suatu kali, saya main ke rumahnya. Saya kaget, bukan karena lihat teman saya itu nggak pake jilbab tapi lebih karena ngelihat penampilan kakaknya yang pake jilbab meskipun dia pergi nggak ke mana-mana. Saya pikir, masak sih cuma duduk di teras aja mesti pake jilbab? Apa nggak kepanasan tuh?
Tamat SMA, saya berpisah dengan teman saya itu. Dia kembali ke Medan dan saya melanjutkan kuliah di Banda Aceh. Lagi-lagi saya harus memakai kain putih penutup kepala itu. Yup, putih lagi. Kenapa? Karena kebetulan saya “nyasar” kuliah di Akper yang memang mewajibkan mahasiswinya memakai seragam putih-putih dan jilbab putih (lagi). Aha! Jilbab putih saya nambah lagi.
Lalu, ada yang berbeda pada saya setelah itu. Saya ‘harus’ memakai jilbab saat itu. Bukan karena saya sudah mulai mencintai jilbab. Bukan sama sekali. Tapi lebih karena saya nggak ingin terkena razia yang lagi heboh-hebohnya di Aceh; razia jilbab! Meski bandel-bandel begini, saya agak takut juga mendengar cerita-cerita menyeramkan dari akses razia jilbab tersebut. Apalagi jika yang merazia-nya adalah orang-orang yang nggak bertanggung jawab. Saya mendengar ada cewek yang rambutnya di potong asal-asalan, baju dan celana juga di gunting asal-asalan. Huaaaaa…saya ngeri mendengarnya. Akhirnya, selain jilbab putih waktu SMA dan kuliah, saya mulai menambah “koleksi” jilbab saya dengan warna yang lebih beragam. Sekali lagi, bukan karena saya sudah mulai mencintai jilbab.
Seiring berjalannya waktu, syariat Islam mulai diterapkan sedikit demi sedikit di Aceh. Maka, kemanapun kita melangkah di sepenjuru Aceh, nggak akan kita temui perempuan Aceh yang nggak berjilbab.
Gara-Gara Baca Majalah Islam
Lama-lama saya merasa enjoy pake jilbab. Saya melihat jilbab sudah menjadi tren. Semua sudah pake jilbab. Mulai dari jilbab gaul sampai pada jilbab yang sebenarnya jilbab. Lalu saya ada dimana? Oho…saya tentu ada di kategori pertama dong. Jilbab gaul, gals!
Maka kemanapun saya pergi, saya tetap nge-jeans dengan T-shirt trendy yang lagi in dan jilbab yang saya ikat ke belakang. Bahkan tak jarang –karena ukuran jilbab saya yang terlalu kecil- poni saya keluar atau rambut saya yang panjang terjuntai ke belakang. Padahal saya pakai jilbab loh.
Perubahan paling besar saya rasakan ketika saya mulai dekat dengsan beberapa teman yang aktif di LDK kampus. Jilbab mereka tentu saja berbeda dengan jilbab saya, yang cuma saya pake buat bepergian jauh aja. Saya masih saja bertanya-tanya : apa mereka nggak kepanasan ya dengan jilbab yang rapat seperti itu?
Berteman dengan mereka membuat saya merasa nyaman. Mereka nggak pernah protes lihat saya pakai jeans. Nggak pernah melotot lihat jilbab saya yang terikat ke belakang. Tidak seperti senior-senior saya yang membimbing teman-teman saya di LDK itu, mereka main pelotot aja lihat juniornya pake baju yang “aneh” dikit.
Kebetulan salah seorang diantaranya punya hobi yang sama dengan saya, maniak komik dan hobi baca buku. Kami berdua sering ngubek-ubek tempat penyewaan komik dan novel di kota saya. Hal ini sering kami lakukan kalau pas nggak ada jam kuliah.
Saya makin merasa enjoy berteman dengannya. Dia sering menyodorkan saya saya koleksi majalah-majalah islami seperti Ummi dan Annida. Awalnya saya nggak tertarik dengan majalah “kecil” seperti itu. Kok tampilannya nggak “rame” dan ngejreng seperti majalah remaja pada umunya. Tapi karena saya memang suka membaca apa saja, setiap kali dia nyodorin majalah itu, ya saya baca.
Entah kenapa, tiba-tiba pemahaman saya selama ini bahwa jilbab itu kuno, norak dan kampungan mulai terkikis sedikit demi sedikit. Apa karena pengaruh bacaan-bacan dari teman saya itu? Saya rasa, ya!
Untuk menjawab rasa penasaran saya, maka mulailah saya membeli buku-buku fikih wanita muslimah. Di situ dijabarkan bagaimana seharusnya seorang wanita bergaul dan berpakaian menurut yang disyari’atkan.
Karena akhirnya saya tahu bahwa berjilbab itu wajib dan nggak sekedar ngikutin tren aja, saya pun mulai memodifikasi pakaian saya. Memodifikasi dalam artian bagaimana saya bisa berpakaian secara syar’i tapi tetap modis. I mean, ngikutin perkembangan zaman gitu loh.
So, siapa bilang dengan berjilbab nggak bisa modis? Modis kan nggak harus seksi, gals!
***
Tips berjilbab modis tapi syar’i ala saya :
1. Sesuaikan warna jlibab dengan pakaian yang kamu kenakan. Biar matching gitu loh! Tapi bukan berarti kamu harus mengenakan warna yang seluruhnya sama dari jilbab sampai ke rok bahkan kaos kaki, karena ini akan cukup merepotkan kalau kamu nggak punya banyak koleksi baju muslimah. Sesuaikan dengan salah satunya aja. Kalau kamu pake rok hitam dan baju biru, maka jilbabnya bisa dipakai yang warna biru atau warna hitam. Begini juga udah matching kok! Jangan coba-coba pakai jilbab merah, ntar kamu di bilang cewek A-B-C, nambah D kalau kamu pakai kaos kaki warna hijau.
2. Kalau kamu nggak punya banyak koleksi baju muslimah dan kamu memang nggak mampu buat ngebeli banyak, maka belilah jilbab dan baju muslimah dengan warna-warna netral aja seperti hitam, putih atau cream. Warna-warna tersebut masih cocok kok kalau mau dipadu-padankan dengan warna lain
3. Beli baju dan jilbab yang modelnya simpel aja dan bisa bertahan sepanjang masa. Jadi, meskipun udah keluar model terbaru, kita masih tetap pede make tuh baju dan jilbab.
4. Nggak ada salahnya pake aksesoris jilbab seperti bros atau memodifikasi bentuk jilbab asal tetap menutup dada.
5. Pakai daleman jilbab seperti ciput atau sal, biar jilbab kamu rapi sepanjang hari. Jadi, nggak ada tuh kerjaannya narik jilbab ke belakang mulu, karena jilbab kamu nggak pas kedudukannya.
***
Banda Aceh, Agustus 2005(Karya ini terdapat dalam Antologi Nonfiksi Gara-Gara Jilbabku bersama Asma Nadia dkk. Lingkar Pena Pubishing House 2006)
0 komentar:
Posting Komentar